Tulisan 3
CINTA DAN
PERKAWINAN
A. Deskripsi
cinta dan perkawinan
Cinta adalah
sebuah emosi dari kasih sayang yang
kuat dan ketertarikan pribadi. Dalam konteks filosofi cinta merupakan sifat
baik yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang.
Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan
manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, kasih
sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan
apapun yang diinginkan objek tersebut.
Menurut Sternberg, cinta adalah sebuah kisah, kisah
yang ditulis oleh setiap orang. Kisah tersebut merefleksikan kepribadian, minat
dan perasaan seseorang terhadap suatu hubungan. Ada kisah tentang perang
memperebutkan kekuasaan, misteri, permainan, dsb. Kisah pada setiap orang
berasal dari “skenario” yang sudah dikenalnya, apakah dari orang tua,
pengalaman, cerita, dsb. Kisah ini biasanya mempengaruhi orang bagaimana ia
bersikap dan bertindak dalam sebuah hubungan.
Daniel Goleman (2002 : 411) mengemukakan cinta adalah salah
satu dari macam emosi yang berupa: penerimaan, persahabatan, kepercayaan,
kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, dan kemesraan.
Perkawinan
atau dalam arti pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan
atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan
secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki
banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, budaya agama, maupun
kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan
dengan aturan atau hukum agama tertentu pula.
Pengesahan secara hukum suatu pernikahan
biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan
ditanda-tangani. Upacara pernikahan sendiri biasanya merupakan acara yang
dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat istiadat yang berlaku,
dan kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga Wanita dan pria
yang sedang melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah
upacaranya selesai upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami dan istri
dalam ikatan perkawinan.
Artikel 1 :
6 Pilar Penyangga Perkawinan
Di masa pacaran, boleh jadi cinta memang sejuta rasanya. Namun ketika
memasuki perkawinan, modal cinta saja tak cukup untuk mempertahankan
kelangsungan sebuah keluarga. Dalam mencari pasangan hidup, budaya Jawa
mengenal sejumlah kriteria yang dikenal dengan istilah bobot, bibit, bebet.
Namun pada kenyataannya, banyak orang beranggapan salah satunya saja sudah
cukup memenuhi kriteria pasangan hidup. "Cari pasangan ya lihat pribadinya
dong! Punya mobil pribadi, rumah pribadi, dan kalau perlu vila pribadi!"
ujar seorang perempuan tanpa maksud bergurau. "Kalau menurut saya sih,
yang penting harus punya tanggung jawab," sela seorang teman bicaranya.
"Yang paling penting ya cinta dong!" yang lain menyergah tak kalah
semangat.
Sebetulnya apa saja sih pilar penyangga yang kokoh bagi kelanggengan
sebuah perkawinan? Benarkah cinta bisa diandalkan? Sepenuhnya ditentukan oleh
kelimpahan materi? Bagaimana soal komitmen dan tanggung jawab? Seberapa penting
aspek kepribadian kedua belah pihak? Bagaimana dengan hal-hal lain, bisakah
diabaikan?
"Proses menimbang-nimbang memang seharusnya sudah dimulai sebelum
suami-istri memasuki gerbang pernikahan," kata Titi P. Natalia, M.Psi.
Meski ia tak menyangkal banyak pasangan yang tidak "sempat" melewati
proses seleksi. Meminjam istilah anak zaman sekarang, ada tahapan yang mesti
dilalui, yakni koleksi, seleksi, baru resepsi. Akan tetapi Titi mengingatkan
agar kita tidak perlu lagi menoleh ke belakang hanya untuk mempertanyakan
apakah tahapan-tahapan tersebut sudah dilalui atau belum. "Sebaiknya lihat
saja ke depan. Komitmen dan kesungguhan suami istrilah yang paling dibutuhkan
begitu janur kuning sudah dipasang melengkung," tandasnya.
Pilar-pilar yang dibutuhkan demi kokohnya sebuah pernikahan memang
tidak sedikit.
Berikut di antaranya:
1. Latar belakang keluarga Tak bisa dipungkiri
Latar belakang keluarga kedua
belah pihak pastilah memegang peran penting. Yang termasuk di sini antara lain
suku, bangsa, ras, agama, sosial, kondisi ekonomi, pola hidup dan sebagainya.
Namun bukan berarti pasangan dengan latar belakang yang sangat berbeda dan
bertolak belakang tidak mungkin bersatu. Hanya saja mereka mesti lebih siap
dituntut berupaya lebih keras dalam proses penyesuaian diri.
2.
Kesetaraan
Kesetaraan akan mempermudah suami
istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Adanya kesetaraan dalam banyak hal
dapat meminimalkan friksi yang mungkin timbul. Kesetaraan ini antara lain
meliputi kesetaraan pendidikan, pola pikir dan keimanan.
3.
Karakteristik individu
Setiap individu memiliki karakteristik yang
unik dan ini menjadi salah satu pilar yang menentukan langgeng tidaknya sebuah
rumah tangga. Individu dengan karakter sulit yang bertemu dengan individu yang
juga berkarakter sulit, tentu lebih berat dalam mempertahankan pernikahannya.
Sebaliknya, yang berkarakter sulit bila bertemu dengan pasangan yang
berkarakter mudah, tentu proses penyesuaian yang harus dijalaninya bakal lebih
mulus.
4. Cinta
Jangan anggap sepele kata yang satu ini. Walaupun tidak berwujud, cinta
dapat dirasakan. Pernikahan tanpa cinta bisa dibilang ibarat sayur tanpa garam,
serba hambar dan dingin. Cinta yang dimaksud adalah cinta yang mencakup makna
melindungi, memiliki tanggung jawab, memberi rasa aman pada pasangan dan
sebagainya.
Ada yang bilang,
setelah sekian tahun menikah cinta biasanya akan hilang dengan sendirinya
seiring dengan berjalannya waktu. Sementara yang tersisa tinggal tanggung
jawab. Benarkah? "Tidak harus seperti itu karena cinta bisa dipupuk supaya
terus subur. Apalagi menjalani tanggung jawab akan terasa lebih ringan kalau
ada cinta di dalamnya," ujar Titi. Meski tentu saja, mempertahankan rumah
tangga tidak cukup bermodalkan cinta semata.
5.
Kematangan dan motivasi
Kematangan suami/istri memang ditentukan oleh faktor usia ketika menikah.
Mereka yang menikah terlalu muda secara psikologis belum matang dan ini akan
berpengaruh pada motivasinya dalam mempertahankan biduk rumah tangga. Namun
usia tidak identik dengan kematangan seseorang karena bisa saja orang yang
sudah cukup umur tetap kurang memperlihatkan kematangan.
6. Partnership
Pilar rumah tangga berikutnya adalah partnership alias semangat bekerja
sama di antara suami dan istri. Tanpa adanya partnership, umumnya rumah tangga
mudah goyah. Selain itu perlu "persahabatan" yang bisa dirasakan
keduanya. Coba bayangkan, alangkah nikmatnya bila masalah apa pun yang
menghadang senantiasa dihadapi bersama dengan seorang sahabat.
Bila Terjadi
Kepincangan
Idealnya, ucap Titi, semua pilar tersebut sama-sama ikut menyangga
bangunan rumah tangga agar segala sesuatunya menjadi lebih kokoh dan kuat.
Namun dalam realitas sering terdapat kepincangan di sana-sini, entah dalam hal
motivasi, kesetaraan dan sebagainya. Kalau hal seperti ini yang terjadi, apa
yang harus dilakukan?
"Semua terpulang pada tujuan pernikahan itu sendiri. Kalau memang
tujuan mereka jelas dan motivasi suami maupun istri kuat, tentu akan usaha dari
kedua belah pihak untuk menyelaraskan semuanya," jawab psikolog yang
antara lain berpraktik di Empati Development Center. Keduanya akan bersedia
menerima pasangannya, apa pun adanya. "Tapi ingat, menerima di sini bukan
berarti pasrah begitu saja lo, melainkan harus ada penyesuaian di sana-sini
yang bisa diterima bersama."
Mengarungi biduk perkawinan tanpa masalah memang mustahil karena friksi-friksi
sangat mungkin muncul kapan saja dan mencakup aspek apa saja. "Namun
sekali lagi kembali pada usaha suami dan istri untuk mempersepsikan perbedaan
yang ada. Apakah perbedaan itu akan dibesar-besarkan atau dicarikan jalan
keluarnya."
Saat menentukan pilihan mungkin saja calon suami/istri adalah yang
terbaik. Namun dalam perjalanan hidup perkawinan mereka, di mata istri atau
suami, ternyata pasangannya bukan lagi yang terbaik. Lo, kok bisa begitu?
"Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang dinamis. Selalu saja ada
perubahan. Oleh karena itulah dibutuhkan kesadaran kedua belah pihak untuk
terus-menerus menyesuaikan diri."
Singkatnya, walaupun semua pilar yang disebutkan itu ada dalam rumah
tangga, tidak ada jaminan bahwa pernikahan ini akan mulus tanpa batu sandungan.
Namun setidaknya dengan adanya pilar-pilar kokoh tadi, suami dan istri akan
dipermudah dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Tanggapan
:
Artikel ini
menjelaskan tentang pilar-pilar penyangga yang kokoh bagi kelanggengan sebuah
perkawinan. Walaupun semua pilar yang disebutkan itu ada dalam rumah tangga,
tidak ada jaminan bahwa pernikahan ini akan mulus tanpa batu sandungan. Namun
setidaknya dengan adanya pilar-pilar yang kokoh, suami dan istri akan
dipermudah dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
B. Bagaimana
memilih pasangan
Setelah kita mengetahui tentang tujuan menikah maka Islam juga
mengajarkan kepada umatnya untuk berhati-hati dalam memilih pasangan hidup
karena hidup berumah tangga tidak hanya untuk satu atau dua tahun saja, akan
tetapi diniatkan untuk selama-lamanya sampai akhir hayat kita.
Muslim atau
Muslimah dalam memilih calon istri atau suami tidaklah mudah tetapi membutuhkan
waktu. Karena kriteria memilih harus sesuai dengan syariat Islam. Orang yang
hendak menikah, hendaklah memilih pendamping hidupnya dengan cermat, hal ini
dikarenakan apabila seorang Muslim atau Muslimah sudah menjatuhkan pilihan
kepada pasangannya yang berarti akan menjadi bagian dalam hidupnya. Wanita yang
akan menjadi istri atau ratu dalam rumah tangga dan menjadi ibu atau pendidik
bagi anak-anaknya demikian pula pria menjadi suami atau pemimpin rumah
tangganya dan bertanggung jawab dalam menghidupi (memberi nafkah) bagi anak
istrinya. Maka dari itu, janganlah sampai menyesal terhadap pasangan hidup
pilihan kita setelah berumah tangga kelak.
Artikel 2:
Memilih Pasangan dalam Islam
Bagaimana
cara memilih pasangan hidup yang sesuai syariah Islam?
“Aku menyukaimu karena kebaikanmu. Karena
kejujuranmu dan karena keindahan karakter dan kebenaran kata-katamu.”
Kalimat di atas adalah kutipan ungkapan Siti
Khadijah pada Nabi Muhammad saat Rasulullah menerima tawaran Khadijah untuk
menikah dengannya seperti diceritakan dalam salah satu kitab biografi Nabi
yaitu Siratu Rasulillah karya Ibnu Ishaq.
Siti
Khadijah adalah salah satu dari tokoh bangsawan Makkah yang selain kaya juga
memiliki wawasan intelektual yang luas pada zamannya. Ia– seorang janda yang
ditinggal mati dua suami terdahulu–tahu betul bahwa betapa pentingnya memilih
pasangan yang tepat dan benar.
Setidaknya ada tiga pelajaran yang dapat kita petik
dari kisah pernikahan Nabi Muhammad dan Siti Khadijah dan alasannya memilih
Nabi sebagai pasangan hidupnya yang terakhir.
Pertama, pernikahan adalah hubungan persahabatan
antara seorang laki-laki dan perempuan yang diharapkan akan berlangsung seumur
hidup. Suatu hubungan persahabatan tidak akan berjalan dengan lancar dan harmonis
apabila salah satu atau kedua pasangan tidak memiliki karakter yang baik.
Karakter baik dan buruk seseorang dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum menjatuhkan pilihan, antara
lain, watak bawaan, lingkungan keluarga , lingkungan sekitar, lingkungan
pendidikan dan wawasan keagamaan. Di antara semuanya, faktor watak bawaan dan
wawasan spiritual adalah dua hal yang paling penting. Dan di antara dua hal
ini, wawasan keagamaan hendaknya menjadi faktor penentu untuk menikahi seseorang.
Rasulullah mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menikahi wanita karena
kesalihan wanita itu (fadzfar li dzatiddin) , maka dia akan beruntung (taribat
yadaka). Nabi sangat tidak menganjurkan memilih pasangan hanya karena faktor
harta atau fisik (cantik atau tampan) dengan tanpa melihat kesalihan sebagai
pertimbangan utama. Quran bahkan menegaskan haramnya menikah dengan pria atau
wanita nakal (QS Annur 24:3). Karena selain berdampak pada ketidakharmonisan
dalam rumah tangga, juga berakibat kurang baik dalam proses pendidikan anak.
Kedua, pendidikan anak dimulai dari saat keputusan
kita dalam memilih pasangan. Karena, menurut sejumlah ahli psikologi,
kepribadian seseorang banyak dipengaruhi oleh dua faktor: keturunan dan
lingkungan. Karakter warisan orang tua menjadi batas-batas kepribadian yang
dapat dikembangkan. Sedang lingkungan—yakni sosial, budaya dan faktor
situasional—akan mempengaruhi perkembangan aktual kepribadian anak dalam lingkup
batas-batas tersebut.
Sebagai contoh, Andi adalah seorang anak yang
orangtuanya dikenal pemarah, maka tidak heran apabila watak dasar Anda pemarah
juga. Akan tetapi sifat pemarahnya jauh berkurang karena dia berteman dengan
Budi yang penyabar. Namun, sesabar-sabar Andi, tentu tidak dapat melebihi
kesabaran Budi, dst.
Ketiga, sudah dimaklumi bahwa untuk mencari
pasangan hidup yang ideal kita harus mengenal karakter yang sebenarnya dari
calon pasangan kita. Dari kisah Siti Khadijah ini, kita tahu bahwa untuk
mengenal kepribadian calon pasangan, tidak diperlukan proses pacaran atau
“ta’aruf” terlebih dahulu. Yang diperlukan adalah penilaian orang-orang yang
tahu betul perilaku calon pasangan kita.
Itulah yang dilakukan Siti Khajijah. Untuk mengenal
Muhammad secara lebih dekat, Khadijah berkonsultasi dengan sepupunya Waraqah
yang juga seorang pendeta Nasrani. Dia juga bertanya pada pembantu laki-lakinya
yang bernama Maysarah yang menyertai Nabi dalam ekspedisi bisnis ke Suriah. Ia
pun meminta tolong sahabat wanitanya bernama Nufaysah untuk mengutarakan
niatnya pada Muhammad. Yang oleh Muhammad diterima dengan tangan terbuka.
Sikap Khadijah
yang mengadakan pendekatan lebih dulu ini juga patut dicontoh kaum perempuan.
Apabila seorang wanita sudah merasa menemukan pasangan idealnya, tidak ada
salahnya ia mengadakan pendekatan lebih dahulu. Tentu melalui seorang
perantara, seperti melalui orang tuanya atau tokoh yang dihormati, sebagaimana
dicontohkan oleh Siti Khadijah.
Tanggapan :
Artikel ini menjelaskan bagaimana cara
memilih pasangan yang baik menurut Islam.
Ada pelajaran yang dapat kita petik dari kisah Siti Khadijah dan Nabi
Muhammad SAW dan alasan beliau memilih Nabi sebagai pasangan hidup terakhirnya.
Yang pertama, pernikahan
adalah hubungan persahabatan antara seorang laki-laki dan perempuan yang
diharapkan akan berlangsung seumur hidup. Faktor watak bawaan dan wawasan
spiritual adalah dua hal yang paling penting. Dan di antara dua hal ini,
wawasan keagamaan hendaknya menjadi faktor penentu untuk menikahi seseorang.
Yang kedua, menurut sejumlah ahli psikologi, kepribadian seseorang banyak
dipengaruhi oleh dua faktor: keturunan dan lingkungan. Dan yang terakhir untuk
mencari pasangan hidup yang ideal kita harus mengenal karakter yang sebenarnya
dari calon pasangan kita.
C. Seluk beluk
hubungan dalam perkawinan
Dawn J. Lipthrott, LCSW, seorang
psikoterapis dan juga marriage and relationship educator and coach,
dia mengatakan bahwa ada lima tahap perkembangan dalam kehidupan perkawinan.
Hubungan dalam pernikahan bisa berkembang dalam tahapan yang bisa diduga
sebelumnya. Namun perubahan dari satu tahap ke tahap berikut memang tidak terjadi
secara mencolok dan tak memiliki patokan batas waktu yang pasti. Bisa
jadi antara pasangan suami-istri, yang satu dengan yang lain, memiliki waktu
berbeda saat menghadapi dan melalui tahapannya, antara lain :
Tahap pertama : Romantic Love. Saat
ini adalah saat Anda dan pasangan merasakan gelora cinta yang menggebu-gebu.
Ini terjadi di saat bulan madu pernikahan. Anda dan pasangan pada tahap ini
selalu melakukan kegiatan bersama-sama dalam situasi romantis dan penuh cinta.
Tahap kedua : Dissapointment or
Distress. Masih menurut Dawn, di tahap ini pasangan suami istri kerap
saling menyalahkan, memiliki rasa marah dan kecewa pada pasangan, berusaha
menang atau lebih benar dari pasangannya. Terkadang salah satu dari pasangan
yang mengalami hal ini berusaha untuk mengalihkan perasaan stres yang memuncak
dengan menjalin hubungan dengan orang lain, mencurahkan perhatian ke pekerjaan,
anak atau hal lain sepanjang sesuai dengan minat dan kebutuhan masing-masing.
Menurut Dawn tahapan ini bisa membawa pasangan suami-istri ke situasi yang tak
tertahankan lagi terhadap hubungan dengan pasangannya. Banyak pasangan di
tahap ini memilih berpisah dengan pasangannya.
Tahap ketiga : Knowledge and
Awareness. Dawn mengungkapkan bahwa pasangan suami istri yang sampai
pada tahap ini akan lebih memahami bagaimana posisi dan diri pasangannya.
Pasangan ini juga sibuk menggali informasi tentang bagaimana kebahagiaan
pernikahan itu terjadi. Menurut Dawn juga, pasangan yang sampai di tahap ini
biasanya senang untuk meminta kiat-kiat kebahagiaan rumah tangga kepada
pasangan lain yang lebih tua atau mengikuti seminar-seminar dan konsultasi
perkawinan.
Tahap keempat : Transformation.
Suami istri di tahap ini akan mencoba tingkah laku yang berkenan di hati
pasangannya. Anda akan membuktikan untuk menjadi pasangan yang tepat bagi
pasangan Anda. Dalam tahap ini sudah berkembang sebuah pemahaman yang
menyeluruh antara Anda dan pasangan dalam mensikapi perbedaan yang terjadi.
Saat itu, Anda dan pasangan akan saling menunjukkan penghargaan, empati dan
ketulusan untuk mengembangkan kehidupan perkawinan yang nyaman dan tentram.
Tahap kelima : Real Love. “Anda
berdua akan kembali dipenuhi dengan keceriaan, kemesraan, keintiman,
kebahagiaan, dan kebersamaan dengan pasangan,” ujar Dawn. Psikoterapis
ini menjelaskan pula bahwa waktu yang dimiliki oleh pasangan suami istri seolah
digunakan untuk saling memberikan perhatian satu sama lain. Suami dan istri
semakin menghayati cinta kasih pasangannya sebagai realitas yang menetap. “Real
love sangatlah mungkin untuk Anda dan pasangan jika Anda berdua memiliki
keinginan untuk mewujudkannya. Real love tidak bisa terjadi dengan sendirinya
tanpa adanya usaha Anda berdua,” ingat Dawn.
D. Penyesuaian
dan pertumbuhan dalam perkawinan
Penyesuaian Perkawinan adalah dua orang
memasuki tahap perkawinan dan mulai membiasakan diri dengan situasi baru
sebagai suami istri yang saling menyesuaikan dengan kepribadian, lingkungan,
kehidupan keluarga, dan saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan
harapan.
Hurlock (1990) mengatakan bahwa
terdapat lima criteria kaberhasilan dalam penyesuaian perkawinan, yaitu :
1.
Kebahagiaan suami istri. Suami istri yang bahagia yang memperolaeh kebahagiaan bersama
akan membuahkan kepuasan yang diperoleh dari peran yang mereka mainkan bersama
2. Kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari
perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat diantara anggota keluarga yang tidak
dapat dielekkan, biasanya berakhir dengan salah satu dari tiga kemungkinan
yaitu adanya ketegangan tanpa pemecahan, salah satu mengalah demi perdamaian
atau masing-masing keluarga mencoba untuk saling mengerti pandangan orang lain.
3.
Kebersamaan. Jika penyesuaian perkawinan dapat berhasil, maka keluarga dapat
menikmati waktu yang digunakan untuk berkumpul barsama.
4.
Penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan. Dalam keluarga pada umumnya salah
satu sumber perselisihan dan kejengkelan adalah sekitar masalah keuangan.
5.
Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga. Apabila suami istri mempunyai
hubungan yang baik dengan pihak keluarga pasangan, khususnya mertua, ipar
laki-laki dan ipar perempuan. Kecil kemungkinannya untuk terjadi percekcokan
dan ketegangan hubungan dengan mereka.
E. Perceraian
dan pernikahan kembali
Perkawinan sebagai kontrak dalam hubungan perdata dapat
dibatalkan, tetapi sebagai perjanjian bermakna keagamaan (mîtsâqan ghalizha)
pada dasarkan tidak dapat dibatalkan kecuali karena alasan-alasan
pengucualiaan. Hal itu karena perceraian walaupun pada dasarnya dibolehkan,
tetapi merupakan suatu perbuatan boleh yang dibenci Allah (abghadh al-halâl).
Karena itu, berdasarkan as-siyâsah asy-syar‘iyyah, negara melalui
peraturan perundang-undangan dan lembaga peradilan harus berupaya mencegah
terjadinya perceraian.
Esensi
dalam pernikahan adalah menyatukan dua manusia yang berbeda latar belakang.
Untuk itu kesamaan pandangan dalam kehidupan lebih penting untuk diusahakan
bersama.
Jika
ingin sukses dalam pernikahan baru, perlu menyadari tentang beberapa hal
tertentu, jangan biarkan kegagalan masa lalu mengecilkan hati. Menikah Kembali
setelah perceraian bisa menjadi pengalaman menarik. tinggalkan masa lalu dan
berharap untuk masa depan yang lebih baik.
F. Single
life
Hidup melajang atau membujang kerap kali terjadi disekitar
kita, bukan karena tidak ada yang mau dengannya atau bisa dibilang “tidak
laku”. Tetapi banyak dari mereka yang sibuk dengan dunianya seperti dunia
kerja, apalagi jika pekerjaan mereka telah membuat hidupnya bercukupan maka tak
jarang dari mereka enggan membuka dirinya untuk orang lain. Itulah yang
menyebabkan banyak wanita dan pria yang sebenarnya sudah cukup untuk melepas
masa lajangnya justru lebih senang dan nyaman untuk hidup melajang.
Padahal di agama
kita sangat dianjurkan jika seseorang yang sudah memasuki usia siap menikah,
mapan dan mampu untuk menikah, karena menikah merupakan sebuah ibadah kita
kepada Allah SWT. Dan sebenarnya kita diciptakan Allah SWT sudah
berpasang-pasangan dan akan lebih baik jika itu semua dipersatukan dan disahkan
dalam ikatan pernikahan.
Artikel 3 :
Menikah atau Melajang Itu Pilihan
Menikah atau melajang, itu sebuah pilihan.
Bukankah hidup itu memilih?
“Suatu waktu dalam hidupnya, manusia harus
memilih. Jika tidak, ia tidak akan menjadi apa-apa,” ujar Pramoedya Ananta Toer
dalam Bumi
Manusia.
Hukum
menikah pada dasarnya bukan sesuatu yang wajib, tetapi dianjurkan karena sesuai
dengan fitrah manusia dan bermanfaat bagi kehidupan.
Sesungguhnya,
alasan yang sangat mendasar mengapa manusia itu perlu menikah adalah karena
kebutuhan psikologis. Sebagai makhluk sosial,
manusia itu perlu berteman. Sahabat saja tidak cukup karena sifatnya yang bisa
berubah-ubah atau tidak permanen atau ajeg secara sosial, psikologis atau status
hukum. Secara psikologis, kita
memerlukan teman yang cocok dalam hal berbagi kehidupan. Suami atau isteri
adalah pasangan hidup sekaligus teman hidup. Artinya, mereka sebagai sepasang
manusia sudah berikrar baik dalam susah maupun senang untuk selalu
bersama-sama, saling membantu, dan dapat saling menerima apa adanya. Seorang
sahabat saya mengatakan,”Menikah itu banyak memberi bukan banyak menerima.”
Lantas bagaimana jika kita belum juga dapat jodoh atau
menemui pasangan yang pas? Salahkah kita?
Sangat berbeda antara prinsip untuk tidak menikah atau lajang forever (jomblo abadi) dengan melajang karena
belum dapat jodoh. Dalam ajaran Islam sendiri, sekadar contoh dalam konteks
ajaran agama, tidak mengenal prinsip selibat (al batul)
atau tidak menikah selamanya.
Umar bin Khattab berkata, “Tidak menikah selamanya
(selibat) tidak ada dalam ajaran Islam. Menunda pernikahan adalah menunda
banyak manfaat yang sesungguhnya dapat segera dinikmati oleh manusia.”
Seorang ulama sufi Hasan Al Bashri berpesan, “Jauhilah
sifat menunda-nunda. Nilai dirimu tergantung pada hari ini, bukan besok. Kalau
esok kamu beruntung berarti keuntunganmu akan bertambah jika hari ini kamu
telah beramal. Dan kalau besok kamu rugi kamu takkan menyesal karena toh kamu
telah beramal pada hari ini.”
Crooks & Baur dalam Our Sexuality (1990) menyebutkan sejumlah alasan
mengapa seseorang memilih mengakhiri masa lajang dan menikah:
1. Untuk mendapatkan suatu bentuk perasaan yang sifatnya tetap tentang
bagaimana memiliki seseorang dan menjadi milik seseorang serta perasaan
dibutuhkan orang lain.
2. Adanya keyakinan bahwa kedekatan dan kepercayaan dalam pernikahan dapat
menjadikan suatu bentuk hubungan yang lebih kaya dan mendalam.
3. Untuk dapat melakukan hubungan seks yang sah dan wajar secara norma
sosial. Pernikahan akan lebih menyehatkan dan membahagiakan karena dapat
menyalurkan hasrat biologis dalam kerangka hubungan yang resmi.
4. Adanya harapan bahwa ia akan semakin memahami kebutuhan pasangannya, dan
hubungan yang tercipta semakin harmonis seiring semakin dalam pengetahuannya
akan pasangan. Ini jelas tidak cukup didapatkan dalam hubungan percintaan atau
pacaran saja.
5. Mendapatkan sejumlah keuntungan secara finansial dan hukum yang dapat
diraih dalam pernikahan
Jika bimbang memilih,
ingatlah yang berikut. Daniel S. Goleman dalam Emotional Intelligence—yang
populer karena mengenalkan konsep Emotional Quotient (EQ)—mengungkapkan bahwa manusia
memiliki dua otak dalam satu tempurung kepalanya. Satu otak berpikir yang lazim
dikenal sebagai otak kiri, dan yang satu otak merasa atau otak kanan. Otak kiri
cenderung bersikap objektif, rasional, presisi, numerikal,analitis,
linier,konvergen dan logis. Sementara otak kanan cenderung sarat hal-hal
eksperimental, divergen, non-analitis, subjektif, non-verbal, intuitif,
holistik dan reseptif.
Dua otak ini harus bekerja selaras. Otak kanan yang
memuat emosi memberi masukan dan informasi kepada proses berpikir rasional pada
otak kiri. Sementara otak kiri memperbaiki dan terkadang menyetop masukan emosi
tersebut. Jika otak kanan terlalu dominan, kita akan sering bertindak gegabah
dan mengambil keputusan yang sembrono.
Namun jika otak kiri terlalu dominan, kita cenderung
hanya jadi pengamat dan terus menganalisis alias omong doang (omdo)–atau justru
bertindak atau berucap tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain. Yang ideal
adalah saat perasaan atau emosi mendukung keputusan yang rasional. Otak kanan
akan menunjukkan arah yang tepat. Dengan demikian pengelolaan emosi adalah hal
penting.
Ada lima wilayah EQ (Emotional Quotient)
atau kecerdasan emosi yakni mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi
diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan. Kelimanya, jika
ditilik, dapat ditemui dan dilatih dalam wadah yang bernama pernikahan.
Pernikahan adalah cara mematangkan kecerdasan emosional
dan sarana fitrah yang digariskan untuk mengisi kekosongan eksistensial
manusia. Salah satunya karena pernikahan lebih dapat mengekang hawa nafsu dan
dapat menjaga pandangan.
Banyak pasangan yang menganggap–sekaligus juga dibenarkan para pakar–bahwa
menikah bukanlah ujung suatu kehidupan, tetapi justru langkah awal mengarungi
kehidupan. Ia bukanlah puncak, ia justru titik start, titik awal
untuk memulai. Jadi belum berani menikah berarti belum bernyali menghadapi
kehidupan. Ketika menikah, orang dapat saling memberi dan menerima cinta secara
eksklusif. Setiap pasangan berpeluang bersama-sama mengembangkan diri menjadi
pribadi yang sehat dan matang.
Jadi, mengapa menunda-nunda?
“Menikahlah! Sekiranya engkau akan
mendapati seorang istri yang baik, engkau akan menjadi sangat beruntung. Dan
jika engkau mendapat seorang istri yang tidak baik sekalipun, engkau akan
menjadi filsuf karenanya, dan itu baik bagi laki-laki.” (Socrates, filsuf Yunani)
Tanggapan :
Menurut
artikel ini Hukum menikah pada dasarnya bukan sesuatu yang wajib, tetapi
dianjurkan karena sesuai dengan fitrah manusia dan bermanfaat bagi kehidupan.
alasan yang sangat mendasar mengapa manusia itu perlu menikah adalah karena
kebutuhan psikologis. Sebagai makhluk sosial,
manusia itu perlu berteman. Prinsip untuk tidak menikah atau lajang forever (jomblo abadi) dengan melajang karena
belum dapat jodoh sangat berbeda. Pernikahan adalah cara mematangkan kecerdasan emosional dan sarana fitrah
yang digariskan untuk mengisi kekosongan eksistensial manusia. Salah satunya
karena pernikahan lebih dapat mengekang hawa nafsu dan dapat menjaga pandangan.
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar