Selasa, 28 April 2015

TUGAS KESEHATAN MENTAL 2

Fenomena Stres pada Wanita
Pada zaman sekarang wanita sudah banyak mengalami kemajuan, mereka sudah bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh pria, walaupun begitu semua wanita di dunia ini pasti mengalami stres terhadap pekerjaan. Apalagi wanita yang memiliki peran ganda. Seorang wanita yang bekerja dan juga sebagai ibu rumah tangga, memiliki tingkat stres yang tinggi. Para wanita yang mengalami stress lebih tinggi dibandingkan dengan pria, karena wanita bekerja menghadapi konflik peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga.
Stress menyebabkan ketegangan/penderitaan psikis sehingga menimbulkan kecemasan. Oleh sebab itu saya tertarik untuk membahas fenomena ini. Menurut Sekaran (1986) ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya konflik peran ganda, yaitu pengasuhan anak dan bantuan pekerjaan rumah tangga, komunikasi dan interaksi dengan keluarga, waktu untuk keluarga, penentuan prioritas sebagai seorang istri, dan tekanan karir dan keluarga (Spitze dalam Gelles, 1995).
Menurut Robbins (2001) stres merupakan suatu kondisi yang menekan keadaan psikis seseorang dalam mencapai suatu kesempatan dimana untuk mencapai kesempatan tersebut terdapat batasan atau penghalang. Lazarus & Folkman (1986) menyatakan bahwa penyebab stres atau stressor dapat berwujud atau berbentuk fisik (seperti polusi udara) dan dapat juga berkaitan dengan lingkungan sosial (seperti interaksi sosial). Pikiran dan perasaan individu sendiri yang dianggap sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga menjadi stressor.
            Keputusan untuk mengambil dua peran berbeda yaitu di rumah tangga dan di tempat kerja tentu diikuti dengan tuntutan dari dalam diri sendiri dan masyarakat. Tuntutan dari diri sendiri dan sosial ini menyerukan hal yang sama yaitu keberhasilan dalam dua peranan tersebut. Idealnya memang setiap wanita bisa menjalani semua peran dengan baik dan sempurna, namun ini bukanlah hal mudah. Banyak wanita berperan ganda mengakui bahwa secara operasional sulit untuk membagi waktu bagi urusan rumah tangga dan urusan kantor
Referensi :
Gelles, R. J. (1995). Contemporary families: A sociological view. London: Sage Publications.
Lazarus, R.S and Folkman, S 1984. Appraisal, stres, and coping. New York: Spinger Publishing Company
Robbins, SP., 2001. Organizational behavior. 9th Edition. Prentice Hall International Inc.
Sekaran, U. (1986). Dual career families. San Fransisco: Josey Bass Publishers.



Hubungan antara kesehatan mental dengan kecerdasan emosional

Mental Hygiene atau ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental atau jiwa, bertujuan mencegah timbulnya gangguan atau penyakit mental dan gangguan emosi dan berusaha mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental serta memajukan kesehatan jiwa rakyat (Kartono,1989). Kesehatan mental itu seharusnya dibina sejak kecil, agar .pertumbuhan berjalan wajar dan tidak ada gangguan. Tapi kadang-kadang orang tidak bernasib baik untuk lahir dan dibesarkan oleh orang tua yang mengerti dan dapat memberi kesempatan untuk bertumbuh ke arah mental yang sehat.
Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan akhir. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat oleh mata, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak yang terjadi dalam hati seseorang (Ancok dan Suroso, 1994).
Pembinaan mental dapat terjadi melalui pengalaman-pengalaman dan kebiasaan-kebiasaan yang ditanamkan sejak kecil oleh orang tua. Yang mulai dengan pembiasaan hidup sesuai dengan nilai-nilai moral yang ditirunya dari orang tua. Dalam membina mental, agama mempunyai peranan yang penting, karena nilai-nilai moral yang datang dari agama tetap, tidak berubah-ubah oleh waktu dan tempat. Demikian pula dengan agama, ia akan menjadi pengendali 49 moral apabila dimengerti, dirasakan dan dibiasakan
Untuk membina kesehatan mental, baik pembinaan yang berjalan teratur sejak kecil, ataupun pembinaan yang dilakukan setelah dewasa agama sangat penting. Seharusnya agama masuk menjadi unsur-unsur yang menentukan dalam konstruksi pribadi sejak kecil. Akan tetapi, apabila seseorang menjadi remaja atau dewasa tanpa mengenal agama, maka kegoncangan jiwa remaja akan mendorongnya ke arah kelakuan-kelakuan yang kurang baik (Daradjat, 1985).
Apabila ketentraman batin terganggu, orang mungkin akan menjadi lesu, malas bekerja dan bahkan akan sering marasa sakit. Bagi seorang yang beriman dan mampu menggunakan keyakinannya kepada Tuhan, maka dalam menghadapi segala persoalan hidup ia tidak akan patah semangat dan malas.

Referensi :
Djamaluddin, A & Suroso. (1994). Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Daradjat, Z. (1985). Kesehatan Mental. Jakarta: PT Gunung Agung
Kartono, K. (2000). Hygiene mental dan kesehatan mental dalam islam. Bandung: Mandar Maju.
Widiana, N. (2013). Hubungan antara kadar religiusitas dengan kesehatan mental (studi pada mahasiswa program studi pai semester 6 stain salatiga tahun 2013). Skripsi (tidak diterbitkan). Salatiga : STAIN