Senin, 10 Juni 2013

CINTA DAN PERKAWINAN

Tulisan 3

CINTA DAN PERKAWINAN

A.   Deskripsi cinta dan perkawinan
     Cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi. Dalam konteks filosofi cinta merupakan sifat baik yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut.
Menurut Sternberg, cinta adalah sebuah kisah, kisah yang ditulis oleh setiap orang. Kisah tersebut merefleksikan kepribadian, minat dan perasaan seseorang terhadap suatu hubungan. Ada kisah tentang perang memperebutkan kekuasaan, misteri, permainan, dsb. Kisah pada setiap orang berasal dari “skenario” yang sudah dikenalnya, apakah dari orang tua, pengalaman, cerita, dsb. Kisah ini biasanya mempengaruhi orang bagaimana ia bersikap dan bertindak dalam sebuah hubungan.
Daniel Goleman (2002 : 411) mengemukakan cinta adalah salah satu dari macam emosi yang berupa: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, dan kemesraan.
  Perkawinan atau dalam arti pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, budaya agama, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula. 
     Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda-tangani. Upacara pernikahan sendiri biasanya merupakan acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat istiadat yang berlaku, dan kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga Wanita dan pria yang sedang melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya selesai upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan.

Artikel 1 :

                                                       6 Pilar Penyangga Perkawinan

Di masa pacaran, boleh jadi cinta memang sejuta rasanya. Namun ketika memasuki perkawinan, modal cinta saja tak cukup untuk mempertahankan kelangsungan sebuah keluarga. Dalam mencari pasangan hidup, budaya Jawa mengenal sejumlah kriteria yang dikenal dengan istilah bobot, bibit, bebet. Namun pada kenyataannya, banyak orang beranggapan salah satunya saja sudah cukup memenuhi kriteria pasangan hidup. "Cari pasangan ya lihat pribadinya dong! Punya mobil pribadi, rumah pribadi, dan kalau perlu vila pribadi!" ujar seorang perempuan tanpa maksud bergurau. "Kalau menurut saya sih, yang penting harus punya tanggung jawab," sela seorang teman bicaranya. "Yang paling penting ya cinta dong!" yang lain menyergah tak kalah semangat.
Sebetulnya apa saja sih pilar penyangga yang kokoh bagi kelanggengan sebuah perkawinan? Benarkah cinta bisa diandalkan? Sepenuhnya ditentukan oleh kelimpahan materi? Bagaimana soal komitmen dan tanggung jawab? Seberapa penting aspek kepribadian kedua belah pihak? Bagaimana dengan hal-hal lain, bisakah diabaikan?
"Proses menimbang-nimbang memang seharusnya sudah dimulai sebelum suami-istri memasuki gerbang pernikahan," kata Titi P. Natalia, M.Psi. Meski ia tak menyangkal banyak pasangan yang tidak "sempat" melewati proses seleksi. Meminjam istilah anak zaman sekarang, ada tahapan yang mesti dilalui, yakni koleksi, seleksi, baru resepsi. Akan tetapi Titi mengingatkan agar kita tidak perlu lagi menoleh ke belakang hanya untuk mempertanyakan apakah tahapan-tahapan tersebut sudah dilalui atau belum. "Sebaiknya lihat saja ke depan. Komitmen dan kesungguhan suami istrilah yang paling dibutuhkan begitu janur kuning sudah dipasang melengkung," tandasnya.

Pilar-pilar yang dibutuhkan demi kokohnya sebuah pernikahan memang tidak sedikit.
Berikut di antaranya:
1.    Latar belakang keluarga Tak bisa dipungkiri
     Latar belakang keluarga kedua belah pihak pastilah memegang peran penting. Yang termasuk di sini antara lain suku, bangsa, ras, agama, sosial, kondisi ekonomi, pola hidup dan sebagainya. Namun bukan berarti pasangan dengan latar belakang yang sangat berbeda dan bertolak belakang tidak mungkin bersatu. Hanya saja mereka mesti lebih siap dituntut berupaya lebih keras dalam proses penyesuaian diri.

2.    Kesetaraan
     Kesetaraan akan mempermudah suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Adanya kesetaraan dalam banyak hal dapat meminimalkan friksi yang mungkin timbul. Kesetaraan ini antara lain meliputi kesetaraan pendidikan, pola pikir dan keimanan.
3.    Karakteristik individu
     Setiap individu memiliki karakteristik yang unik dan ini menjadi salah satu pilar yang menentukan langgeng tidaknya sebuah rumah tangga. Individu dengan karakter sulit yang bertemu dengan individu yang juga berkarakter sulit, tentu lebih berat dalam mempertahankan pernikahannya. Sebaliknya, yang berkarakter sulit bila bertemu dengan pasangan yang berkarakter mudah, tentu proses penyesuaian yang harus dijalaninya bakal lebih mulus.
4.    Cinta
Jangan anggap sepele kata yang satu ini. Walaupun tidak berwujud, cinta dapat dirasakan. Pernikahan tanpa cinta bisa dibilang ibarat sayur tanpa garam, serba hambar dan dingin. Cinta yang dimaksud adalah cinta yang mencakup makna melindungi, memiliki tanggung jawab, memberi rasa aman pada pasangan dan sebagainya.
Ada yang bilang, setelah sekian tahun menikah cinta biasanya akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. Sementara yang tersisa tinggal tanggung jawab. Benarkah? "Tidak harus seperti itu karena cinta bisa dipupuk supaya terus subur. Apalagi menjalani tanggung jawab akan terasa lebih ringan kalau ada cinta di dalamnya," ujar Titi. Meski tentu saja, mempertahankan rumah tangga tidak cukup bermodalkan cinta semata.
5.    Kematangan dan motivasi
Kematangan suami/istri memang ditentukan oleh faktor usia ketika menikah. Mereka yang menikah terlalu muda secara psikologis belum matang dan ini akan berpengaruh pada motivasinya dalam mempertahankan biduk rumah tangga. Namun usia tidak identik dengan kematangan seseorang karena bisa saja orang yang sudah cukup umur tetap kurang memperlihatkan kematangan.
6.    Partnership
Pilar rumah tangga berikutnya adalah partnership alias semangat bekerja sama di antara suami dan istri. Tanpa adanya partnership, umumnya rumah tangga mudah goyah. Selain itu perlu "persahabatan" yang bisa dirasakan keduanya. Coba bayangkan, alangkah nikmatnya bila masalah apa pun yang menghadang senantiasa dihadapi bersama dengan seorang sahabat.

Bila Terjadi Kepincangan

Idealnya, ucap Titi, semua pilar tersebut sama-sama ikut menyangga bangunan rumah tangga agar segala sesuatunya menjadi lebih kokoh dan kuat. Namun dalam realitas sering terdapat kepincangan di sana-sini, entah dalam hal motivasi, kesetaraan dan sebagainya. Kalau hal seperti ini yang terjadi, apa yang harus dilakukan?
"Semua terpulang pada tujuan pernikahan itu sendiri. Kalau memang tujuan mereka jelas dan motivasi suami maupun istri kuat, tentu akan usaha dari kedua belah pihak untuk menyelaraskan semuanya," jawab psikolog yang antara lain berpraktik di Empati Development Center. Keduanya akan bersedia menerima pasangannya, apa pun adanya. "Tapi ingat, menerima di sini bukan berarti pasrah begitu saja lo, melainkan harus ada penyesuaian di sana-sini yang bisa diterima bersama."
Mengarungi biduk perkawinan tanpa masalah memang mustahil karena friksi-friksi sangat mungkin muncul kapan saja dan mencakup aspek apa saja. "Namun sekali lagi kembali pada usaha suami dan istri untuk mempersepsikan perbedaan yang ada. Apakah perbedaan itu akan dibesar-besarkan atau dicarikan jalan keluarnya."
Saat menentukan pilihan mungkin saja calon suami/istri adalah yang terbaik. Namun dalam perjalanan hidup perkawinan mereka, di mata istri atau suami, ternyata pasangannya bukan lagi yang terbaik. Lo, kok bisa begitu? "Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang dinamis. Selalu saja ada perubahan. Oleh karena itulah dibutuhkan kesadaran kedua belah pihak untuk terus-menerus menyesuaikan diri."
Singkatnya, walaupun semua pilar yang disebutkan itu ada dalam rumah tangga, tidak ada jaminan bahwa pernikahan ini akan mulus tanpa batu sandungan. Namun setidaknya dengan adanya pilar-pilar kokoh tadi, suami dan istri akan dipermudah dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Tanggapan :
Artikel ini menjelaskan tentang pilar-pilar penyangga yang kokoh bagi kelanggengan sebuah perkawinan. Walaupun semua pilar yang disebutkan itu ada dalam rumah tangga, tidak ada jaminan bahwa pernikahan ini akan mulus tanpa batu sandungan. Namun setidaknya dengan adanya pilar-pilar yang kokoh, suami dan istri akan dipermudah dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
B.   Bagaimana memilih pasangan
Setelah kita mengetahui tentang tujuan menikah maka Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk berhati-hati dalam memilih pasangan hidup karena hidup berumah tangga tidak hanya untuk satu atau dua tahun saja, akan tetapi diniatkan untuk selama-lamanya sampai akhir hayat kita.
Muslim atau Muslimah dalam memilih calon istri atau suami tidaklah mudah tetapi membutuhkan waktu. Karena kriteria memilih harus sesuai dengan syariat Islam. Orang yang hendak menikah, hendaklah memilih pendamping hidupnya dengan cermat, hal ini dikarenakan apabila seorang Muslim atau Muslimah sudah menjatuhkan pilihan kepada pasangannya yang berarti akan menjadi bagian dalam hidupnya. Wanita yang akan menjadi istri atau ratu dalam rumah tangga dan menjadi ibu atau pendidik bagi anak-anaknya demikian pula pria menjadi suami atau pemimpin rumah tangganya dan bertanggung jawab dalam menghidupi (memberi nafkah) bagi anak istrinya. Maka dari itu, janganlah sampai menyesal terhadap pasangan hidup pilihan kita setelah berumah tangga kelak.
Artikel 2:
Memilih Pasangan dalam Islam
Bagaimana cara memilih pasangan hidup yang sesuai syariah Islam?
“Aku menyukaimu karena kebaikanmu. Karena kejujuranmu dan karena keindahan karakter dan kebenaran kata-katamu.”
Kalimat di atas adalah kutipan ungkapan Siti Khadijah pada Nabi Muhammad saat Rasulullah menerima tawaran Khadijah untuk menikah dengannya seperti diceritakan dalam salah satu kitab biografi Nabi yaitu Siratu Rasulillah karya Ibnu Ishaq.
     Siti Khadijah adalah salah satu dari tokoh bangsawan Makkah yang selain kaya juga memiliki wawasan intelektual yang luas pada zamannya. Ia– seorang janda yang ditinggal mati dua suami terdahulu–tahu betul bahwa betapa pentingnya memilih pasangan yang tepat dan benar.
Setidaknya ada tiga pelajaran yang dapat kita petik dari kisah pernikahan Nabi Muhammad dan Siti Khadijah dan alasannya memilih Nabi sebagai pasangan hidupnya yang terakhir.
Pertama, pernikahan adalah hubungan persahabatan antara seorang laki-laki dan perempuan yang diharapkan akan berlangsung seumur hidup. Suatu hubungan persahabatan tidak akan berjalan dengan lancar dan harmonis apabila salah satu atau kedua pasangan tidak memiliki karakter yang baik.
Karakter baik dan buruk seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum menjatuhkan pilihan, antara lain, watak bawaan, lingkungan keluarga , lingkungan sekitar, lingkungan pendidikan dan wawasan keagamaan. Di antara semuanya, faktor watak bawaan dan wawasan spiritual adalah dua hal yang paling penting. Dan di antara dua hal ini, wawasan keagamaan hendaknya menjadi faktor penentu untuk menikahi seseorang. Rasulullah mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menikahi wanita karena kesalihan wanita itu (fadzfar li dzatiddin) , maka dia akan beruntung (taribat yadaka). Nabi sangat tidak menganjurkan memilih pasangan hanya karena faktor harta atau fisik (cantik atau tampan) dengan tanpa melihat kesalihan sebagai pertimbangan utama. Quran bahkan menegaskan haramnya menikah dengan pria atau wanita nakal (QS Annur 24:3). Karena selain berdampak pada ketidakharmonisan dalam rumah tangga, juga berakibat kurang baik dalam proses pendidikan anak.
Kedua, pendidikan anak dimulai dari saat keputusan kita dalam memilih pasangan. Karena, menurut sejumlah ahli psikologi, kepribadian seseorang banyak dipengaruhi oleh dua faktor: keturunan dan lingkungan. Karakter warisan orang tua menjadi batas-batas kepribadian yang dapat dikembangkan. Sedang lingkungan—yakni sosial, budaya dan faktor situasional—akan mempengaruhi perkembangan aktual kepribadian anak dalam lingkup batas-batas tersebut.
Sebagai contoh, Andi adalah seorang anak yang orangtuanya dikenal pemarah, maka tidak heran apabila watak dasar Anda pemarah juga. Akan tetapi sifat pemarahnya jauh berkurang karena dia berteman dengan Budi yang penyabar. Namun, sesabar-sabar Andi, tentu tidak dapat melebihi kesabaran Budi, dst.
Ketiga, sudah dimaklumi bahwa untuk mencari pasangan hidup yang ideal kita harus mengenal karakter yang sebenarnya dari calon pasangan kita. Dari kisah Siti Khadijah ini, kita tahu bahwa untuk mengenal kepribadian calon pasangan, tidak diperlukan proses pacaran atau “ta’aruf” terlebih dahulu. Yang diperlukan adalah penilaian orang-orang yang tahu betul perilaku calon pasangan kita.
Itulah yang dilakukan Siti Khajijah. Untuk mengenal Muhammad secara lebih dekat, Khadijah berkonsultasi dengan sepupunya Waraqah yang juga seorang pendeta Nasrani. Dia juga bertanya pada pembantu laki-lakinya yang bernama Maysarah yang menyertai Nabi dalam ekspedisi bisnis ke Suriah. Ia pun meminta tolong sahabat wanitanya bernama Nufaysah untuk mengutarakan niatnya pada Muhammad. Yang oleh Muhammad diterima dengan tangan terbuka.
Sikap Khadijah yang mengadakan pendekatan lebih dulu ini juga patut dicontoh kaum perempuan. Apabila seorang wanita sudah merasa menemukan pasangan idealnya, tidak ada salahnya ia mengadakan pendekatan lebih dahulu. Tentu melalui seorang perantara, seperti melalui orang tuanya atau tokoh yang dihormati, sebagaimana dicontohkan oleh Siti Khadijah.
Tanggapan :
Artikel ini menjelaskan bagaimana cara memilih pasangan yang baik menurut Islam.  Ada pelajaran yang dapat kita petik dari kisah Siti Khadijah dan Nabi Muhammad SAW dan alasan beliau memilih Nabi sebagai pasangan hidup terakhirnya. Yang pertama, pernikahan adalah hubungan persahabatan antara seorang laki-laki dan perempuan yang diharapkan akan berlangsung seumur hidup. Faktor watak bawaan dan wawasan spiritual adalah dua hal yang paling penting. Dan di antara dua hal ini, wawasan keagamaan hendaknya menjadi faktor penentu untuk menikahi seseorang. Yang kedua, menurut sejumlah ahli psikologi, kepribadian seseorang banyak dipengaruhi oleh dua faktor: keturunan dan lingkungan. Dan yang terakhir untuk mencari pasangan hidup yang ideal kita harus mengenal karakter yang sebenarnya dari calon pasangan kita.

C.    Seluk beluk hubungan dalam perkawinan
 Dawn J. Lipthrott, LCSW, seorang psikoterapis dan juga marriage and relationship educator and coach, dia mengatakan bahwa ada lima tahap perkembangan dalam kehidupan perkawinan. Hubungan dalam pernikahan bisa berkembang dalam tahapan yang bisa diduga sebelumnya. Namun perubahan dari satu tahap ke tahap berikut memang tidak terjadi secara mencolok dan tak memiliki patokan batas waktu yang pasti.  Bisa jadi antara pasangan suami-istri, yang satu dengan yang lain, memiliki waktu berbeda saat menghadapi dan melalui tahapannya, antara lain :
Tahap pertama : Romantic Love. Saat ini adalah saat Anda dan pasangan merasakan gelora cinta yang menggebu-gebu. Ini terjadi di saat bulan madu pernikahan. Anda dan pasangan pada tahap ini selalu melakukan kegiatan bersama-sama dalam situasi romantis dan penuh cinta.
Tahap kedua : Dissapointment or Distress. Masih menurut Dawn, di tahap ini pasangan suami istri kerap saling menyalahkan, memiliki rasa marah dan kecewa pada pasangan, berusaha menang atau lebih benar dari pasangannya. Terkadang salah satu dari pasangan yang mengalami hal ini berusaha untuk mengalihkan perasaan stres yang memuncak dengan menjalin hubungan dengan orang lain, mencurahkan perhatian ke pekerjaan, anak atau hal lain sepanjang sesuai dengan minat dan kebutuhan masing-masing. Menurut Dawn tahapan ini bisa membawa pasangan suami-istri ke situasi yang tak tertahankan lagi terhadap hubungan dengan pasangannya.  Banyak pasangan di tahap ini memilih berpisah dengan pasangannya.
Tahap ketiga Knowledge and Awareness. Dawn mengungkapkan bahwa pasangan suami istri yang sampai pada tahap ini akan lebih memahami bagaimana posisi dan diri pasangannya. Pasangan ini juga sibuk  menggali informasi tentang bagaimana kebahagiaan pernikahan itu terjadi. Menurut Dawn juga, pasangan yang sampai di tahap ini biasanya senang untuk meminta kiat-kiat kebahagiaan rumah tangga kepada pasangan lain yang lebih tua atau mengikuti seminar-seminar dan konsultasi perkawinan.
Tahap keempat Transformation. Suami istri di tahap ini akan mencoba tingkah laku  yang berkenan di hati pasangannya. Anda akan membuktikan untuk menjadi pasangan yang tepat bagi pasangan Anda. Dalam tahap ini sudah berkembang sebuah pemahaman yang menyeluruh antara Anda dan pasangan dalam mensikapi perbedaan yang terjadi. Saat itu, Anda dan pasangan akan saling menunjukkan penghargaan, empati dan ketulusan untuk mengembangkan kehidupan perkawinan yang nyaman dan tentram.
Tahap kelima :  Real Love. “Anda berdua akan kembali dipenuhi dengan keceriaan, kemesraan, keintiman, kebahagiaan, dan kebersamaan dengan pasangan,” ujar Dawn.  Psikoterapis ini menjelaskan pula bahwa waktu yang dimiliki oleh pasangan suami istri seolah digunakan untuk saling memberikan perhatian satu sama lain. Suami dan istri semakin menghayati cinta kasih pasangannya sebagai realitas yang menetap. “Real love sangatlah mungkin untuk Anda dan pasangan jika Anda berdua memiliki keinginan untuk mewujudkannya. Real love tidak bisa terjadi dengan sendirinya tanpa adanya usaha Anda berdua,” ingat Dawn.

D.   Penyesuaian dan pertumbuhan dalam perkawinan
Penyesuaian Perkawinan adalah dua orang memasuki tahap perkawinan dan mulai membiasakan diri dengan situasi baru sebagai suami istri yang saling menyesuaikan dengan kepribadian, lingkungan, kehidupan keluarga, dan saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan harapan.
Hurlock (1990) mengatakan bahwa terdapat lima criteria kaberhasilan dalam penyesuaian perkawinan, yaitu :
1. Kebahagiaan suami istri. Suami istri yang bahagia yang memperolaeh kebahagiaan bersama akan membuahkan kepuasan yang diperoleh dari peran yang mereka mainkan bersama
2.  Kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat diantara anggota keluarga yang tidak dapat dielekkan, biasanya berakhir dengan salah satu dari tiga kemungkinan yaitu adanya ketegangan tanpa pemecahan, salah satu mengalah demi perdamaian atau masing-masing keluarga mencoba untuk saling mengerti pandangan orang lain.
3. Kebersamaan. Jika penyesuaian perkawinan dapat berhasil, maka keluarga dapat menikmati waktu yang digunakan untuk berkumpul barsama.
4. Penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan. Dalam keluarga pada umumnya salah satu sumber perselisihan dan kejengkelan adalah sekitar masalah keuangan.
5. Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga. Apabila suami istri mempunyai hubungan yang baik dengan pihak keluarga pasangan, khususnya mertua, ipar laki-laki dan ipar perempuan. Kecil kemungkinannya untuk terjadi percekcokan dan ketegangan hubungan dengan mereka.

E.    Perceraian dan pernikahan kembali
   Perkawinan sebagai kontrak dalam hubungan perdata dapat dibatalkan, tetapi sebagai perjanjian bermakna keagamaan (mîtsâqan ghalizha) pada dasarkan tidak dapat dibatalkan kecuali karena alasan-alasan pengucualiaan. Hal itu karena perceraian walaupun pada dasarnya dibolehkan, tetapi merupakan suatu perbuatan boleh yang dibenci Allah (abghadh al-halâl). Karena itu, berdasarkan as-siyâsah asy-syar‘iyyah, negara melalui peraturan perundang-undangan dan lembaga peradilan harus berupaya mencegah terjadinya perceraian.
    Esensi dalam pernikahan adalah menyatukan dua manusia yang berbeda latar belakang. Untuk itu kesamaan pandangan dalam kehidupan lebih penting untuk diusahakan bersama.
     Jika ingin sukses dalam pernikahan baru, perlu menyadari tentang beberapa hal tertentu, jangan biarkan kegagalan masa lalu mengecilkan hati. Menikah Kembali setelah perceraian bisa menjadi pengalaman menarik. tinggalkan masa lalu dan berharap untuk masa depan yang lebih baik.

F.    Single life
     Hidup melajang atau membujang kerap kali terjadi disekitar kita, bukan karena tidak ada yang mau dengannya atau bisa dibilang “tidak laku”. Tetapi banyak dari mereka yang sibuk dengan dunianya seperti dunia kerja, apalagi jika pekerjaan mereka telah membuat hidupnya bercukupan maka tak jarang dari mereka enggan membuka dirinya untuk orang lain. Itulah yang menyebabkan banyak wanita dan pria yang sebenarnya sudah cukup untuk melepas masa lajangnya justru lebih senang dan nyaman untuk hidup melajang.
Padahal di agama kita sangat dianjurkan jika seseorang yang sudah memasuki usia siap menikah, mapan dan mampu untuk menikah, karena menikah merupakan sebuah ibadah kita kepada Allah SWT. Dan sebenarnya kita diciptakan Allah SWT sudah berpasang-pasangan dan akan lebih baik jika itu semua dipersatukan dan disahkan dalam ikatan pernikahan.

Artikel 3 :

Menikah atau Melajang Itu Pilihan

Menikah atau melajang, itu sebuah pilihan. Bukankah hidup itu memilih?
“Suatu waktu dalam hidupnya, manusia harus memilih. Jika tidak, ia tidak akan menjadi apa-apa,” ujar Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia.
Hukum menikah pada dasarnya bukan sesuatu yang wajib, tetapi dianjurkan karena sesuai dengan fitrah manusia dan bermanfaat bagi kehidupan.
Sesungguhnya, alasan yang sangat mendasar mengapa manusia itu perlu menikah adalah karena kebutuhan psikologis. Sebagai makhluk sosial, manusia itu perlu berteman. Sahabat saja tidak cukup karena sifatnya yang bisa berubah-ubah atau tidak permanen atau ajeg secara sosial, psikologis atau status hukum. Secara psikologis, kita memerlukan teman yang cocok dalam hal berbagi kehidupan. Suami atau isteri adalah pasangan hidup sekaligus teman hidup. Artinya, mereka sebagai sepasang manusia sudah berikrar baik dalam susah maupun senang untuk selalu bersama-sama, saling membantu, dan dapat saling menerima apa adanya. Seorang sahabat saya mengatakan,”Menikah itu banyak memberi bukan banyak menerima.”
Lantas bagaimana jika kita belum juga dapat jodoh atau menemui pasangan yang pas? Salahkah kita?
Sangat berbeda antara prinsip untuk tidak menikah atau lajang forever (jomblo abadi) dengan melajang karena belum dapat jodoh. Dalam ajaran Islam sendiri, sekadar contoh dalam konteks ajaran agama, tidak mengenal prinsip selibat (al batul) atau tidak menikah selamanya.
Umar bin Khattab berkata, “Tidak menikah selamanya (selibat) tidak ada dalam ajaran Islam. Menunda pernikahan adalah menunda banyak manfaat yang sesungguhnya dapat segera dinikmati oleh manusia.”
Seorang ulama sufi Hasan Al Bashri berpesan, “Jauhilah sifat menunda-nunda. Nilai dirimu tergantung pada hari ini, bukan besok. Kalau esok kamu beruntung berarti keuntunganmu akan bertambah jika hari ini kamu telah beramal. Dan kalau besok kamu rugi kamu takkan menyesal karena toh kamu telah beramal pada hari ini.”
Crooks & Baur dalam Our Sexuality (1990) menyebutkan sejumlah alasan mengapa seseorang memilih mengakhiri masa lajang dan menikah:
1. Untuk mendapatkan suatu bentuk perasaan yang sifatnya tetap tentang bagaimana memiliki seseorang dan menjadi milik seseorang serta perasaan dibutuhkan orang lain.
2. Adanya keyakinan bahwa kedekatan dan kepercayaan dalam pernikahan dapat menjadikan suatu bentuk hubungan yang lebih kaya dan mendalam.
3. Untuk dapat melakukan hubungan seks yang sah dan wajar secara norma sosial. Pernikahan akan lebih menyehatkan dan membahagiakan karena dapat menyalurkan hasrat biologis dalam kerangka hubungan yang resmi.
4. Adanya harapan bahwa ia akan semakin memahami kebutuhan pasangannya, dan hubungan yang tercipta semakin harmonis seiring semakin dalam pengetahuannya akan pasangan. Ini jelas tidak cukup didapatkan dalam hubungan percintaan atau pacaran saja.
5. Mendapatkan sejumlah keuntungan secara finansial dan hukum yang dapat diraih dalam pernikahan
Jika bimbang memilih, ingatlah yang berikut. Daniel S. Goleman dalam Emotional Intelligence—yang populer karena mengenalkan konsep Emotional Quotient (EQ)—mengungkapkan bahwa manusia memiliki dua otak dalam satu tempurung kepalanya. Satu otak berpikir yang lazim dikenal sebagai otak kiri, dan yang satu otak merasa atau otak kanan. Otak kiri cenderung bersikap objektif, rasional, presisi, numerikal,analitis, linier,konvergen dan logis. Sementara otak kanan cenderung sarat hal-hal eksperimental, divergen, non-analitis, subjektif, non-verbal, intuitif, holistik dan reseptif.
Dua otak ini harus bekerja selaras. Otak kanan yang memuat emosi memberi masukan dan informasi kepada proses berpikir rasional pada otak kiri. Sementara otak kiri memperbaiki dan terkadang menyetop masukan emosi tersebut. Jika otak kanan terlalu dominan, kita akan sering bertindak gegabah dan mengambil keputusan yang sembrono.
Namun jika otak kiri terlalu dominan, kita cenderung hanya jadi pengamat dan terus menganalisis alias omong doang (omdo)–atau justru bertindak atau berucap tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain. Yang ideal adalah saat perasaan atau emosi mendukung keputusan yang rasional. Otak kanan akan menunjukkan arah yang tepat. Dengan demikian pengelolaan emosi adalah hal penting.
Ada lima wilayah EQ (Emotional Quotient) atau kecerdasan emosi yakni mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan. Kelimanya, jika ditilik, dapat ditemui dan dilatih dalam wadah yang bernama pernikahan.
Pernikahan adalah cara mematangkan kecerdasan emosional dan sarana fitrah yang digariskan untuk mengisi kekosongan eksistensial manusia. Salah satunya karena pernikahan lebih dapat mengekang hawa nafsu dan dapat menjaga pandangan.
Banyak pasangan yang menganggap–sekaligus juga dibenarkan para pakar–bahwa menikah bukanlah ujung suatu kehidupan, tetapi justru langkah awal mengarungi kehidupan. Ia bukanlah puncak, ia justru titik start, titik awal untuk memulai. Jadi belum berani menikah berarti belum bernyali menghadapi kehidupan. Ketika menikah, orang dapat saling memberi dan menerima cinta secara eksklusif. Setiap pasangan berpeluang bersama-sama mengembangkan diri menjadi pribadi yang sehat dan matang.
Jadi, mengapa menunda-nunda?
“Menikahlah! Sekiranya engkau akan mendapati seorang istri yang baik, engkau akan menjadi sangat beruntung. Dan jika engkau mendapat seorang istri yang tidak baik sekalipun, engkau akan menjadi filsuf karenanya, dan itu baik bagi laki-laki.” (Socrates, filsuf Yunani)
Tanggapan :
Menurut artikel ini Hukum menikah pada dasarnya bukan sesuatu yang wajib, tetapi dianjurkan karena sesuai dengan fitrah manusia dan bermanfaat bagi kehidupan. alasan yang sangat mendasar mengapa manusia itu perlu menikah adalah karena kebutuhan psikologis. Sebagai makhluk sosial, manusia itu perlu berteman. Prinsip untuk tidak menikah atau lajang forever (jomblo abadi) dengan melajang karena belum dapat jodoh sangat berbeda. Pernikahan adalah cara mematangkan kecerdasan emosional dan sarana fitrah yang digariskan untuk mengisi kekosongan eksistensial manusia. Salah satunya karena pernikahan lebih dapat mengekang hawa nafsu dan dapat menjaga pandangan.

Referensi :