Fenomena
Stres pada Wanita
Pada zaman sekarang wanita sudah banyak mengalami
kemajuan, mereka sudah bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh
pria, walaupun begitu semua wanita di dunia ini pasti mengalami stres terhadap
pekerjaan. Apalagi wanita yang memiliki peran ganda. Seorang wanita yang
bekerja dan juga sebagai ibu rumah tangga, memiliki tingkat stres yang tinggi. Para
wanita yang mengalami stress lebih tinggi dibandingkan dengan pria, karena wanita
bekerja menghadapi konflik peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah
tangga.
Stress
menyebabkan ketegangan/penderitaan psikis sehingga menimbulkan kecemasan. Oleh sebab itu saya tertarik untuk membahas fenomena
ini. Menurut Sekaran (1986) ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya
konflik peran ganda, yaitu pengasuhan anak dan bantuan pekerjaan rumah tangga,
komunikasi dan interaksi dengan keluarga, waktu untuk keluarga, penentuan
prioritas sebagai seorang istri, dan tekanan karir dan keluarga (Spitze dalam
Gelles, 1995).
Menurut Robbins (2001) stres merupakan suatu kondisi yang menekan
keadaan psikis seseorang dalam mencapai suatu kesempatan dimana untuk mencapai
kesempatan tersebut terdapat batasan atau penghalang. Lazarus
& Folkman (1986) menyatakan bahwa penyebab stres atau stressor dapat berwujud atau berbentuk fisik (seperti polusi udara)
dan dapat juga berkaitan dengan lingkungan sosial (seperti interaksi sosial).
Pikiran dan perasaan individu sendiri yang dianggap sebagai suatu ancaman baik
yang nyata maupun imajinasi dapat juga menjadi stressor.
Keputusan untuk mengambil dua peran
berbeda yaitu di rumah tangga dan di tempat kerja tentu diikuti dengan tuntutan
dari dalam diri sendiri dan masyarakat. Tuntutan dari diri sendiri dan sosial
ini menyerukan hal yang sama yaitu keberhasilan dalam dua peranan tersebut.
Idealnya memang setiap wanita bisa menjalani semua peran dengan baik dan
sempurna, namun ini bukanlah hal mudah. Banyak wanita berperan ganda mengakui
bahwa secara operasional sulit untuk membagi waktu bagi urusan rumah tangga dan
urusan kantor
Referensi :
Gelles, R. J.
(1995). Contemporary families: A
sociological view. London: Sage Publications.
Lazarus,
R.S and Folkman, S 1984. Appraisal,
stres, and coping. New York: Spinger Publishing Company
Robbins, SP.,
2001. Organizational behavior. 9th
Edition. Prentice Hall International Inc.
Sekaran,
U. (1986). Dual career families. San
Fransisco: Josey Bass Publishers.
Hubungan antara kesehatan mental dengan kecerdasan
emosional
Mental Hygiene atau
ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental
atau jiwa, bertujuan mencegah timbulnya gangguan atau penyakit mental dan
gangguan emosi dan berusaha mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental serta
memajukan kesehatan jiwa rakyat (Kartono,1989). Kesehatan mental itu seharusnya dibina sejak kecil,
agar .pertumbuhan berjalan wajar dan tidak ada gangguan. Tapi kadang-kadang
orang tidak bernasib baik untuk lahir dan dibesarkan oleh orang tua yang
mengerti dan dapat memberi kesempatan untuk bertumbuh ke arah mental yang
sehat.
Keberagamaan atau
religiusitas diwujudkan dalam berbagai kehidupan manusia. Aktivitas beragama
bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah),
tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan akhir.
Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat oleh
mata, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak yang terjadi dalam hati seseorang
(Ancok dan Suroso, 1994).
Pembinaan
mental dapat terjadi melalui pengalaman-pengalaman dan kebiasaan-kebiasaan yang
ditanamkan sejak kecil oleh orang tua. Yang mulai dengan pembiasaan hidup
sesuai dengan nilai-nilai moral yang ditirunya dari orang tua. Dalam membina
mental, agama mempunyai peranan yang penting, karena nilai-nilai moral yang datang
dari agama tetap, tidak berubah-ubah oleh waktu dan tempat. Demikian pula
dengan agama, ia akan menjadi pengendali 49 moral apabila dimengerti, dirasakan
dan dibiasakan
Untuk
membina kesehatan mental, baik pembinaan yang berjalan teratur sejak kecil,
ataupun pembinaan yang dilakukan setelah dewasa agama sangat penting.
Seharusnya agama masuk menjadi unsur-unsur yang menentukan dalam konstruksi
pribadi sejak kecil. Akan tetapi, apabila seseorang menjadi remaja atau dewasa
tanpa mengenal agama, maka kegoncangan jiwa remaja akan mendorongnya ke arah
kelakuan-kelakuan yang kurang baik (Daradjat, 1985).
Apabila
ketentraman batin terganggu, orang mungkin akan menjadi lesu, malas bekerja dan
bahkan akan sering marasa sakit. Bagi seorang yang beriman dan mampu
menggunakan keyakinannya kepada Tuhan, maka dalam menghadapi segala persoalan
hidup ia tidak akan patah semangat dan malas.
Referensi :
Djamaluddin, A & Suroso. (1994).
Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Daradjat, Z. (1985). Kesehatan Mental. Jakarta: PT Gunung
Agung
Kartono, K. (2000). Hygiene mental dan kesehatan mental dalam
islam. Bandung: Mandar Maju.
Widiana,
N. (2013). Hubungan antara kadar religiusitas dengan kesehatan mental (studi
pada mahasiswa program studi pai semester 6 stain salatiga tahun 2013). Skripsi
(tidak diterbitkan). Salatiga : STAIN